cerita rakyat dari Sulawesi tenggara la ode di Tokopedia ∙ Promo Pengguna Baru ∙ Cicilan 0% ∙ Kurir Instan.
DaerahKita 22/05/2019. Pada suatu masa, di daerah Padamara, dekat Sungai Sawing, Nusa Tenggara Barat, hidup sepasang suami istri yang sangat miskin. Sang istri bernama Inaq Lembain, sedangkan suaminya bernama Amaq Lembain.
3. Latar dari Cerita Rakyat Tanjung Menangis Asal Sumbawa. Secar umum, latar belakang dari cerita rakyat Tanjung Menangis ini terjadi di Nusa Tenggara Barat, tepatnya daerah Sumbawa. Namun tenang saja, kamu pun bisa menemukan latar spesifiknya di sini. Beberapa yang sudah disebutkan adalah kerjaan, bukit samping kerajaan, dan laut.
1. Kisah Asli Berbahasa Dayak. Cerita rakyat Bawi Kuwu yang berasal dari daerah Kalimantan Tengah ini aslinya dikisahkan dalam bahasa Dayak, biasanya dikenal dengan nama Kesah Bawi Kuwu Tumbang Rakumpit. Kisah tersebut tak hanya berbentuk tulisan atau dongeng saja, tapi juga lagu daerah yang banyak dinyanyikan oleh warga Dayak.
Vay Tiền Trả Góp 24 Tháng. Kamu suka membaca cerita rakyat Nusantara? Dari Sulawesi Selatan, ada kisah yang cukup inspiratif dan menarik tuk dibaca, yakni cerita rakyat La Moelu. Bila ingin membacanya, langsung saja baca artikel berikut ini!Membaca adalah kegiatan positif dan bermanfaat yang bisa kamu lakukan di waktu luang. Untuk lebih mengenal budaya Nusantara, kamu bisa perbanyak membaca legenda atau cerita rakyat dari berbagai daerah di Indonesia. Di Sulawesi Tenggara, ada cerita rakyat La Moelu yang kisahnya cukup menarik dan Moelu adalah seorang anak-anak laki yang tinggal bersama ayahnya. Ibunya sudah meninggal sejak ia masih bayi. Sedihnya, ayahnya telah berusia senja dan tak bisa lagi mencari bagaimanakah anak yatim tersebut bertahan hidup? Penasaran dengan kisah selengkapnya? Tak perlu berlama-lama lagi, yuk, langsung saja simak cerita selengkapnya di artikel ini! Tak hanya ceritanya saja, ulasan seputar unsur intrinsik, pesan moral, dan fakta menariknya juga telah kami paparkan!Cerita Rakyat La Moelu Pada zaman dahulu, di suatu desa kecil di Sulawesi Tenggara, hiduplah seorang anak laki-laki bernama La Moelu. Saat ia masih bayi, ibunya meninggal sehingga dirinya hanya tinggal dengan ayahnya saja. Sayangnya, sang ayah telah tua renta dan tak bisa mencari nafkah. Jangankan bekerja, untuk berjalan saja ayahnya kesusahan. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, La Moelu yang tiap hari harus bekerja keras. Setiap pagi, ia pergi ke hutan tuk mencari kayu bakar yang kan dijualnya ke pasar. Hasil penjualan biasanya ia gunakan untuk membeli beras. Setelah itu, ia pergi ke sungai tuk menangkap ikan buat lauk makan. Pada suatu hari, anak pekerja keras ini telah menyiapkan banyak cacing tanah yang kan ia gunakan sebagai umpan. Setibanya di tepi sungai, ia melihat segerombolan ikan muncul di permukaan sungai. “Wah, banyak sekali ikannya. Tampaknya, hari ini aku bisa mendapatkan banyak ikan. Aku sudah tak sabar ingin segera memancingnya,” ucapnya antusias. Ia bergegas menyiapkan peralatannya memancing. Di sebuah batu dekat tepi pantai, ia duduk dan menjulurkan pancingnya. Ia menunggu ikan memakan umpannya sembari bersiul-siul. Sayangnya, sudah hampir satu jam ia menunggu, tak ada seekor pun yang terperangkap umpannya. “Lah, ke mana perginya ikan-ikan tadi? Jelas-jelas tadi aku melihat mereka bergerombol. Kenapa sekarang tak ada satu pun yang terperangkap pada pancingku,” gumamnya. Hari pun semakin siang. Tapi, tak satu pun ikan berhasil ia tangkap. Sempat ingin menyerah, La Moelu lalu teringat akan ayahnya di rumah. “Kalau menyerah, nanti aku dan ayah makan apa?” ucapnya dalam hati. Baca juga Legenda Asal Usul Burung Cendrawasih dan Ulasannya, Kisah Si Burung Surga yang Mengandung Amanat Bermakna Menangkap Ikan Mungil Alhasil, ia pun tetap memancing dan bersabar menunggu ikan. Beberapa saat kemudian, pancingnya bergetar. Tampaknya, ada ikan yang memakan umpannya. Dengan penuh hati-hati, ia menarik kailnya. Namun, yang berhasil ia tangkap adalah seekor ikan kecil. Meski begitu, La Moelu tetap senang karena ikannya sangat indah. Warnanya oranye dengan ekor meliuk-liuk. “Aku tak akan memakannya. Akan kujadikan ikan ini sebagai peliharaan,” gumamnya dalam hati. Lalu, ia lanjut memancing dan berhasil mendapatkan ikan besar. Karena matahari sudah semakin panas, ia pun pulan dengan hati gembari. Setibanya di rumah, ia memamerkan hasil tangkapannya ke sang ayah. “Ayah, lihatlah! Aku mendapatkan ikan kecil yang sangat bagus,” teriaknya bahagia. “Wah, warnanya sungguh cantik, anakku. Ikan jenis apa ini?” ucap sang ayah terkagum. “Aku juga tak tahu, Yah. Apakah boleh aku memeliharanya, Yah?” tanya sang anak. “Tentu saja boleh. Kalau pun dimakan, ikan ini tak akan membuat kita kenyang,” ujar sang ayah. La Moelu lalu memindahkan ikan tangkapannya itu ke dalam baskom yang berisi air. Ikan itu ia beri makan agar tak kelaparan. Keesekan harinya, ia terkejut karena ikannya telah sebesar baskom. “Ayah, lihatlah! Ikan ini kenapa sudah sebesar ini? Kemarin bukankah sangat kecil? Bagaiamana bisa ia tumbuh begitu cepatnya?” ujarnya kebingungan. Sang ayah pun terkejut. Ia pun tak menyangka bila ikan itu bisa membesar dengan cepatnya. “Segera pindahkan ikannya ke dalam lesung, Nak. Kasihan jika ia merasa kesempitan,” pinta sang ayah. Dengan cepat, La Moelu langsung mengisi lesung dengan air. Ia lalu memindahkan ikannya ke dalam lesung. Setelah memberikan sedikit makanan, ia berkata pada ikan itu, “Kenapa kamu cepat tumbuh, Kan? Apakah kamu ikan ajaib?” Semakin Membesar Keajaiban itu kembali terjadi di keesokan harinya. Ikan yang semula sebesar baskom, kini sebesar lesung. Sontak, hal itu membuat La Moelu dan ayahnya terkejut. Mereka lalu memindahkannya ke tempat yang lebih besar, yakni di dalam guci. Pada hari berikutnya, ikan berwarna oranye itu kembali menghebohkan si anak dan ayahnya. Tubuhnya kembali membesar seukuran dengan wadahnya. Kali ini, La Moelu bingung memindahkannya di mana. Setelah mencari tempat, akhirnya ia menemukan drum besar. Ikan itu lalu ia pindahkan ke dalam drum tersebut. Mereka beranggapan bila hewan tersebut tak akan membesar seukuran drum. Namun, perkiraaan mereka salah. Saat esok tiba, betapa terkejutnya mereka melihat ikan itu sudah memenuhi drum tersebut. Karena khawatir ikan itu terus membesar, pada akhirnya La Moelu membawanya ke laut. Sebelum melepasnya ke laut, ia berpesan pada sang ikan. “Hai, ikan ajaib! Aku memberimu nama Jinnande Teremombonga. Jika kelak aku memanggilmu, datanglah ke tepi laut. Aku akan memberimu makan. Aku tak dapat lagi memeliharamu di rumah, karena tubuhmu terus-terusan membesar,” ujar anak baik itu. Ikan itu pun mengibas-ngibaskan ekornya. Kemudian, La Moelu melepaskannya ke lautan. Ikan itu tampak senang karena dapat bergerak dengan bebas di samudera luas. Sesuai janji, anak kecil itu keesokan harinya datang ke tepi laut. Ia lalu berteriak memanggil nama ikannya, “Jinnande Teremombonga!” Tak berapa lama, Jinnande Teremombonga datang menghampirinya. Ia lalu memberikan ikan itu makanan sembari mengajaknya bicara. “Tubuhmu makin besar saja. Kau tampak makin indah,” ujarnya. Jinnande Teremombonga memberi respon dengan cara mengibas-ngibaskan ekor. Jinnande Teremombonga Terancam Bahaya Pada suatu pagi yang cerah, seperti biasa La Moelu datang ke tepi laut untuk memberi makan Jinnande Teremombonga. Ternyata, ada tiga pemuda yang mengikuti La Moelu. Ketiga pemuda itu rupanya tetangga La Moelu yang penasaran ke mana perginya anak laki-laki ini tiap pagi. Betapa terkejutnya mereka mendapati anak itu sedang memberi makan pada ikan besar. Muncullah niat jahat dalam benak mereka. “Kawan-kawan, bagaimana kalau kita menangkap ikan besar itu? Pasti bakal laku mahal jika kita menjualnya di pasar,” ujar salah satu pemuda paling tua. “Tunggu dulu, jangan gegabah! Kita tunggu dulu anak kecil itu pulang. Barulah kita menangkap ikan raksasa,” ujar pemuda lain. Setelah La Moelu pergi, ketiga pemuda itu mendekati tepi laut. Akan tetapi, mereka tak tahu bagaimana caranya mendapatkan ikan besar itu. “Tampaknya, ikan itu tak akan mendekati kita. Tapi, bagaimana cara membuatnya ke tepi laut?” ujar salah satu pemuda. “Hmm, tampaknya kita harus kembali lagi besok pagi dan mengamati apa yang anak kecil itu lakukan untuk memanggil ikannya,” ucap pemuda paling tua. Akhirnya, mereka pun pulang dengan tangan kosong. Keesokan harinya, mereka kembali mendekati La Moelu. Kali ini, mereka memperhatikan dengan seksama gerak-gerik La Moelu. Akhirnya, mereka tahu cara memanggil hewan raksasa itu. Usai memberi makan, La Moelu bergegas pergi karena ia harus segera ke pasar dan ke sungai tuk memancing ikan. Kemudian, ketiga pemuda itu mendekat ke tepi laut. Mereka lalu berteriak memanggil Jinnande Teremombonga. “Jinnande Teremombonga! Datanglah kemari!” ucap pemuda lainnya. Tak lama kemudian, Jinnande Teremombonga datang ke tepi laut. Namun, saat melihat orang yang memanggilnya bukanlah Moelu, Jinnande Teremombonga langsung kembali pergi menjauh. “Hah? Kenapa ikan itu pergi lagi?” tanyanya. “Mungkin, dia takut padamu! Coba aku saja yang memanggilnya,” ucap salah satu pemuda. “Jinnande Teremombonga! Kemarilah!” teriaknya. Ikan itu datang mendekat, tapi mendapati yang datang bukanlah tuannya, ia kembali menghindar. Saat pemuda terakhir mencoba memanggilnya, hal itu terjadi lagi. Sampai akhirnya, mereka pun mengatur strategi. Upaya Menangkap Jinnande Teremombonga Setelah berdiskusi sekian lama, akhirnya ketiga pemuda itu menemukan rencana. Salah satu dari mereka akan memanggil Jinnande Teremombonga, saat tiba di tepi laut, kedua pemuda lainnya akan menangkapnya dengan tombak. Dan ternyata, rencana mereka berhasil. Ketika Jinnande Teremombonga tiba di tepi laut, kedua pemuda itu langsung menghunus perutnya dengan tombak. Meski sempat mencoba melawan, Jinnande Teremombonga akhirnya kalah dan mati. Dengan teganya, para pemuda itu lalu memotong-motong Jinnande Teremombonga dan membagi rata. Lalu, mereka membawa sebagian ikan ke pasar dan menjualnya. Sisanya mereka bawa pulang ke rumah masing-masing. Keesokan harinya, La Moelu kembali ke laut untuk memberi makan temannya. Tentunya, ia belum tahu nasib buruk yang menimpa ikan kesayangannya itu. Ia memanggilnya berulang kali, tapi ikan itu tak kunjung datang. “Jinnande Teremombonga, kenapa kau tak kunjung mendatangiku? Apa kau tak lapar? Ada apa denganmu?” ucapnya cemas. Sudah cukup lama ia menanti temannya itu. Ia berkali-kali memanggilnya, tapi tak kunjung ada yang mendekat. Bahkan, ia memanggilnya lebih keras, tapi Jinnande Teremombonga tak kunjung datang. La Moelu pun mulai cemas. Ia khawatir bila ada suatu hal buruk yang menimpa kawannya. “Ke mana perginya dirimu? Jangan-jangan ada suatu hal buruk yang menimpamu?” gumamnya dalam hati. Hingga sore tiba, Jinnande Teremombonga tak kunjung menampakkan diri. Karena lelah, ia memutuskan tuk pulang. Dengan raut wajah sedih dan kecewa, La Moelu menceritakan kesedihannya pada sang ayah. Tetangga yang Jahat Saat malam datang, tiba-tiba saja La Moelu menghirup aroma sedap ikan goreng. Sontak, hal itu membuatnya teringat akan Jinnande Teremombonga. Ia bergegas dari tempat tidurnya dan mendatangi sumber aroma. Aroma sedap itu berasal dari rumah tetangganya. Ia pun mengunjungi rumah itu untuk memastikan ikan jenis apakah yang mereka goreng. Saat mendatangi rumah tetangganya, ia disambut dengan pemuda paling tua yang tadi pagi menangkap Jinnande Teremombonga. “Oh hai, pria kecil. Apa yang membuatmu datang kemari?” tanyanya. “Aku mencium aroma sedap ikan goreng dari rumahku. Apakah kamu yang sedang menggorengnya?” tanya La Moelu. “Wah, ternyata aromanya menyebar hingga ke rumahmu, ya. Iya, benar sekali. Saudaraku sedang menggoreng ikan. Kau mau?” jelas pemuda itu. “Tidak, terima kasih. Aku hanya penasaran, ikan jenis apa yang kalian goreng?” tanyanya penasaran. “Hanya ikan biasa. Kenapa?” jawab pemuda itu cemas. Ia nampaknya takut ketahuan bahwa ikan yang digorengnya sebenarnya adalah Jinnande Teremombonga. “Apakah ikannya besar? Apakah kau menangkapnya di lautan?” tanya La Moelu mendesak pemuda itu. Karena merasa terdesak, akhirnya pemuda itu membuat pengakuan. “Iya, kamu benar. Ikannya berukuran besar dan aku menangkapnya di lautan. Memangnya kenapa hai anak yatim?” ucapnya dengan nada mengejek. Betapa sakit hati La Moelu mendengar ucapan tersebut. Lalu, pemuda itu memberinya tulang Jinnande Teremombonga. “Ini aku berikan tulang ikannya. Karena dagingnya sebagian sudah kujual dan sisanya akan kami makan. Anggap saja ini kenang-kenangan buatmu,” ucapnya. Tentu saja La Moelu menerima tulang ikan itu. Sepanjang jalan, ia menangis tersedu. Ia tak menyangka teman yang ia rawat selama ini dimakan oleh tetangganya sendiri. Ayahnya lalu meminta La Moelu untuk mengubur Jinnande Teremombonga di belakang rumah mereka. Ia pun menuruti kata sang ayah. Karena masih bersedih, ia pun menangis di atas makam Jinnande Teremombonga. Sebuah Keajaiban Terjadi Keesokan harinya, La Moelu hendak memberikan sedikit air pada makam Jinnande Teremombonga. Ia tak ingin temannya kekeringan. Namun, betapa terkejut dirinya mendapati makam temannya ditumbuhi oleh pohon ajaib. Pohon itu berbatang emas, berdaun perak, berbunga intan, dan berbuah berlian. Karena terkejut, La Moelu pun berteriak, “Ayah, ayah! Kemarilah, Yah! Lihatlah pohon ini.” Sang ayah langsung mengambil tongkatnya dan berjalan ke belakang rumah. Alangkah terkejut dirinya memandang pohon itu. “Ini adalah berkah yang Tuhan berikan karena kamu telah merawat Jinnande Teremombonga dengan baik. Rawatlah pohon ini sebagaimana kamu merawat temanmu Jinnande Teremombonga,” ucap sang ayah dengan bijak. Sesuai perintah ayahnya, La Moelu merawat pohon itu dengan baik. Setiap pagi, ia menyirami dan memotong rumput-rumput di sekitar pohon itu. Sesekali, ia mengajaknya ngobrol. La Moelu menganggapnya seperti teman sendiri. Semakin hari, pohon itu semakin besar. Daun dan buahnya mulai berguguran. La Moelu mengambil daun-daun dan bunga itu lalu menjualnnya ke pasar. Tentu saja hal itu membuat ia dan ayahnya menjadi kaya raya. Meski begitu, mereka tak tamak. Ketika ada tetangganya yang mengalami kesulitan, mereka dengan senang hati membantu. Mereka juga tak gelap mata. Meski bisa menghasilkan banyak uang, mereka tak akan memetik bunga, daun, atau buah sebelum berguguran sendiri dari pohonnya. Suatu hari, ketiga pemuda yang dulu menangkap dan membunuh Jinnande Teremombonga datang ke rumah La Moelu. Mereka meminta maaf pada anak kecil itu. Bagaimana tidak, mereka ternyata sakit-sakitan setelah memakan daging Jinnande Teremombonga. Tubuh mereka gatal dan bersisik. Uang hasil penjualan ikan itu pun tak cukup buat berobat. Dengan ketulusan hati, La Moelu memaafkan mereka. Ia juga berpesan pada mereka agar tak mengambil lagi milik orang lain. Baca juga Cerita Rakyat Asal-Usul Ikan Pesut Mahakam dan Ulasan Menariknya, Sebuah Pelajaran Bagi Orang Tua Unsur Intrinsik Setelah membaca cerita rakyat La Moelu, apakah kamu penasaran dengan unsur intrinsiknya? Buat yang penasaran dengan ulasan seputar tema hingga pesan moralnya, langsung saja baca informasi di bawah ini; 1. Tema Inti cerita atau tema dari cerita rakyat La Moelu adalah tentang kasih sayang antar sesama makhluk hidup. Dengan ikhlas dan sungguh-sungguh, seorang anak laki-laki merawat ikan hasil tangkapannya. Meski telah dibebaskan di lautan, ia tetap memberi makan ikannya itu. Tak hanya itu saja, legenda ini juga mengisahkan tentang seorang anak yang pekerja keras. Meski hidup tanpa seorang ibu dan harus merawat ayahnya yang sudah tua, ia tak pernah mengeluh. 2. Tokoh dan Perwatakan Tokoh utama dalam cerita rakyat ini adalah La Moelu dan ayahnya. La Moelu digambarkan sebagai anak kecil yang tangguh dan pekerja keras. Meski kehidupannya mengalami kesulitan, ia tak pernah mengeluh. Ayahnya juga memiliki sifat yang tak kalah baik. Ia merupakan sosok ayah yang bijak dan pengertian. Hanya saja, ia sudah berusia senja sehingga tak kuasa untuk membantu anaknya bekerja. Dalam kisah ini juga terdapat tokoh antagonis, yakni tiga pemuda bersaudara yang merupakan tetangga La Moelu. Mereka adalah pembuat konflik dalam kisah ini yang digambarkan bersikap dingin, jahat, dan tidak punya hati nurani. 3. Latar Legenda yang berasal dari Sulawesi Tenggara ini menggunakan beberapa latar tempat. Beberapa di antaranya adalah rumah La Moelu, sungai tempat ia memancing, rumah tetangganya, dan belakang ruma 4. Alur Cerita Rakyat La Moelu Menceritakan plot dari awal hingga akhir secara berurutan, cerita rakyat La Moelu ini memiliki alur maju. Cerita bermula dari seorang anak yatim piatu yang tak sengaja menangkap ikan kecil. Ia memutuskan untuk memelihara ikan kecil itu. Namun, semakin hari, tubuh hewan tersebut semakin membesar. Akhirnya, La Moelu melepasnya ke lautan luas. Sebelum melepasnya, ia memberi nama ikannya Jinnande Teremombonga. Tiap pagi, ia memanggil Jinnande Teremombonga dan memberinya makan. Sayangnya, Jinnande Teremombonga ditangkap dan dibunuh oleh tetangga La Moelu. Mereka memakan dan menjualnya. Tentu saja La Moelu bersedih mendapati ikannya telah mati. Ia lalu membawa tulang temannya itu ke rumah dan menguburnya. Keeseokan harinya, keajaiban pun terjadi. Tulang ikan tersebut berubah menjadi pohon ajaib yang mengubah kehidupan La Moelu dan ayahnya. 5. Pesan Moral Setiap cerita rakyat Nusantara memiliki amanat atau pesan moral. Tak terkecuali cerita rakyat La Moelu. Kira-kira, apa sajakah pesan moral yang bisa kamu petik dari legenda ini? Tentu saja ada beberapa pesan moral, salah satunya adalah jadilah pekerja keras seperti La Moelu. Meski masih kecil, ia berkewajiban untuk menghidupi dirinya sendiri dan ayahnya. Setiap hari, ia mencari ikan tuk dimakan dan kayu bakar tuk dijualnya. Meski kehidupannya berat, ia tak pernah mengeluh. Dari tokoh utama ini, belajarlah untuk menyayangi seseama ciptaan Tuhan. Ia dengan baik dan hati-hati menjaga serta merawat Jinnande Teremombonga yang merupakan ikan peliharaannya. Cerita ini juga mengajarkan kamu untuk selalu berbakti dan menuruti perkataan orang tua. La Moelu selalu meminta izin dan pendapat dari ayahnya, serta menuruti nasihatnya. Ia tak pernah sekali pun membantah sang ayah. Berikutnya, jadilah orang yang sederhana dan tak tamak. Meski memiliki pohon berbatang emas, berdaun perak, berbunga intan, dan berbuah berlian, La Moelu dan ayahnya tidak sombong. Mereka justru kerap membantu tetangga yang sedang mengalami kesulitan. Pesan terakhir adalah jangan mengambil apa pun yang bukan milikmu, seperti yang dilakukan tiga pemuda dalam legenda ini. Karena mencuri ikan milik La Moelu, mereka pun terkena penyakit yang tak kunjung sembuh. Selain unsur-unsur intrinsiknya, jangan lupakan juga unsru ekstrinsik yang membangun cerita rakyat La Moelu. Unsur ekstrinsik ini biasanya berhubungan dengan nilai moral, sosial, dan budaya. Baca juga Cerita Rakyat Ular Kepala Tujuh dari Bengkulu & Ulasan Menariknya, Bukti Kerendahan Hati dan Keberanian Bisa Mengalahkan Kekejian Fakta Menarik Tak banyak fakta menarik yang dapat diulik dari cerita rakyat La Moelu ini. Berikut adalah ulasan singkatnya; 1. Ada Versi Cerita Lainnya Legenda atau cerita rakyat memang umumnya memiliki beberapa versi cerita. Begitu pula dengan cerita rakyat La Moelu. Ada satu versi cerita yang mengisahkan bahwa La Moelu tidak menghampiri rumah tetangganya yang menangkap Jinnande Teremombonga. Ia melihat sendiri tetangganya itu sedang menangkap Jinnande Teremombonga di laut. Tubuhnya yang terlalu kecil tak kuasa melawan tiga pemuda yang merupakan tetangganya itu. Bahkan, di depan matanya sendiri, La Moelu menyaksikan ikannya dimakan oleh ketiga pemuda tersebut. Tak ada hentinya anak kecil itu menangisi temannya. Usai memakan Jinnande Teremombonga, ketiga pemuda itu pun pergi meninggalkan tulang belulang. Dengan hati yang terluka, La Moelu mengumpulkan tulang ikan itu dan menguburnya di halaman rumah. Saat air matanya menetes di kuburan ikannya, tiba-tiba saja sebuah pohon tumbuh dari tanah itu. Ajaibnya, pohon itu berbatang emas dan berdaun perak. Baca juga Kisah tentang Si Kelingking Asal Jambi dan Ulasan Lengkapnya, Pelajaran untuk Tidak Meremehkan Penampilan Fisik Seseorang Suka dengan Cerita Rakyat La Moelu? Nah, inilah akhir dari artikel yang membahas cerita rakyat La Moelu beserta unsur intrinsiknya. Apakah kamu suka dengan kisahnya? Kalau suka, jangan ragu tuk membagikan artikel ini pada teman-temanmu, ya. Kalau kamu masih butuh kisah lainnya, langsung saja cek kanal Ruang Pena pada Ada cerita legenda Oheo, kisah Putri Gading cempaka, asal usul Danau Toba, dan masih banyak lainnya. Selamat membaca! PenulisRinta NarizaRinta Nariza, lulusan Universitas Kristen Satya Wacana jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, tapi kurang berbakat menjadi seorang guru. Baginya, menulis bukan sekadar hobi tapi upaya untuk melawan lupa. Penikmat film horor dan drama Asia, serta suka mengaitkan sifat orang dengan zodiaknya. EditorKhonita FitriSeorang penulis dan editor lulusan Universitas Diponegoro jurusan Bahasa Inggris. Passion terbesarnya adalah mempelajari berbagai bahasa asing. Selain bahasa, ambivert yang memiliki prinsip hidup "When there is a will, there's a way" untuk menikmati "hidangan" yang disuguhkan kehidupan ini juga menyukai musik instrumental, buku, genre thriller, dan misteri.
Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara Dongeng Persahabatan Kera dan Ayam Budaya Nusantara berkembang sangat luas dari Sabang sampai Merauke. Pada artikel blog The Jombang Taste sebelumnya kita sudah membaca cerita dongeng Sigarlaki dan Limbat dari Sulawesi Utara serta dongeng asal-usul Puteri Duyung dari Sulawesi Tengah. Artikel kali ini menampilkan cerita rakyat dari Sulawesi Tenggara yang berjudul cerita fabel persahabatan kera dan ayam. Selamat membaca. Pada jaman dahulu hidup dua binatang yang bersahabat erat, yaitu kera dan ayam. Mereka berdua tinggal di dalam hutan di wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Kelihatannya mereka berdua selalu hidup rukun dan darnai. Tapi, kenyataan sebenarnya tidaklah demikian. Setelah sekian lama mereka bersahabat, barulah ketahuan perilaku buruk si kera. Pada suatu hari si kera membuat siasat untuk menjebak ayam. “Hai Ayam, sahabatku,” panggil kera dengan muka manis. “Ada apa kera?” jawab ayam. “Sore-sore begini enaknya kita jalan-jalan. Maukah kau pergi bersamaku?” kata kera dengan nada merajuk. “Memang kita mau pergi ke mana? ” tanya ayam ingin tahu. “Aku akan mengajakmu jalan-jalan ke hutan. Disitulah tempat aku biasa bermain. Di sana tempatnya indah. Pasti kamu akan suka!” ujar si kera seraya mernbujuk. Kera Menjebak Ayam di Hutan Ayam tertarik dengan ajakan si kera. Ia tidak pernah tahu kalau kera punya tempat bermain yang indah. Tanpa rasa curiga sedikitpun, ia mengikuti kera untuk berjalan-jalan di hutan. Ayam berjalan di belakang kera. Hari semakin gelap, perut kera mulai meronta-ronta minta diisi. Saat itulah timbul niat busuk kera untuk mencelakai ayam. “Untuk apa aku susuh-susah mencari makanan. Di belakangku saja sudah ada makanan yang sangat lezat,” pikiran kera mulai licik. Kera melihat ayam tampak kebingungan masuk ke dalam hutan. Ayam itu tampak besar dan segar. Hmm, pasti enak kalau daging ayam itu masuk ke dalam perutnya. Kera berpikir, jika ayam hendak dimakannya, lebih baik jika tanpa bulu. Oleh karena itu, ia hendak mencabuti bulu ayam terlebih dahulu. Kera mengatur waktu yang tepat untuk menangkap ayam. Ayam dan kera berjalan semakin jauh dan masuk ke dalam hutan. Saat itu hari makin gelap, kera pun melaksanakan niatnya. Ia segera menangkap ayam. “Kena kau!” ujar kera kegirangan saat berhasil menangkap ayam. Ayam tampak terkejut melihat perlakuan kera. “Mengapa kau menangkapku? Bukankah kita saling bersahabat?” tanya ayam dengan nafas terengah-engah. “Dulu kita sahabat. Tapi sekarang aku lapar. Maka kau harus mau jadi makananku,” kata kera dengan tawa terbahak-bahak. Kera yang jahat itu kemudian mencabuti bulu-bulu si ayam. “Tidak…! Jangan kau cabut buluku! Sakit…!” teriak ayam dengan suara pilu. Ayam meronta-ronta dengan sekuat tenaga. Ayam mencoba lari dari cengkeraman si kera jahat. Lalu pada sebuah kesempatan yang tepat, ayam mematuk tangan kera hingga kera itu melepaskan tubuh ayam dalam genggamannya. Setelah berusaha keras tanpa mengenal lelah melompat kesana-kemari, akhirnya ayam berhasil melarikan diri. Ayam berlari sekencang-kencangnya keluar dari hutan. Setelah sekian lama ayam berlari, tibalah ia di rumah sahabatnya yang lain. Ayam tiba di rumah kepiting. Kepiting yang melihat ayam tidak berbulu dan tampak kelelahan membuatnya penasaran. Ia pun bertanya. “Kamu kenapa, ayam? Mengapa napasmu terengah-engah? Kenapa bulu-bulumu rontok semua?” tanya kepiting dengan rasa iba. “Kepiting, aku dicelakai oleh sahabatku sendiri si kera. Ia hendak memakanku,” jawab ayam dengan napasnya yang masih terengah-engah. “Kurang ajar! Tega sekali kera berbuat seperti ini kepadamu,” ucap kepiting tidak percaya. Kemudian ayam menceritakan kejadian dari awal sampai akhir. Mulai dari ajakan kera mengunjungi tempat bermain sampai ia dijebak oleh kera dan akan dimakannya. “Kera harus kita beri pelajaran!” ucap kepiting dengan geram usai menyimak penuturan ayam. Ayam dan kepiting kemudian mengatur siasat untuk memberi pelajaran kepada si kera. Mereka tampak bermusyawarah dengan serius. Tak lama kemudian kepiting membantu ayam menyembuhkan bulu-bulunya yang rontok. Pembalasan Untuk Kera Pengkhianat Beberapa bulan kemudian bulu-bulu di tubuh ayam telah pulih. Ayam dapat mencari makan seperti sedia kala. Ayam kembali bertemu dengan kepiting. Kepiting mengajak ayam menemui kera. Awalnya ayam tidak mau. Ia masih takut kepada kera. “Inilah saat yang tepat untuk menghukum sahabat pengkhianat macam kera itu,” kata kepiting berusaha meyakinkan ayam. “Tapi aku masih takut…” kata ayam. “Tenanglah. Aku akan membantumu,” ujar kepiting. Akhirnya ayam menuruti ide kepiting. Pada hari yang telah disepakati bersama, mereka berdua datang ke tempat kera. Kera tampak asyik duduk di kursi malas. Ayam masih tampak ketakutan melihat si kera. Ia ragu untuk berbicara dengan kera. Akhirnya, kepitinglah yang berbicara kepada kera. “Hai kera, dua hari lagi aku dan ayam akan pergi berlayar ke pulau seberang. Disana banyak makanan enak,” ujar kepiting kepada kera. “Benarkah? Bolehkah aku ikut berlayar dengan kalian,” ucap kera penuh harap. “Boleh saja. Dua hari lagi kami tunggu di pantai. Jangan sampai terlambat ya,” kata kepiting. Tibalah pada hari yang telah disepakati. Mereka berdua bertemu di pinggir pantai. Sebelum mereka berangkat berlayar, perahu dari tanah liat telah disediakan. Ayam dan kepiting sengaja mempersiapkan jauh-jauh hari rencana pembalasan ini. Mereka bertiga bergegas naik perahu menuju pulau seberang. Perahu yang mereka tumpangi semakin lama semakin menjauh dari pantai. Kera yang rakus mulai membayangkan betapa lezatnya buah-buahan yang akan disantapnya nanti, sedangkan ayam dan kepiting mulai saling memberi sandi. Ayam berkokok, “Kukuruyuk….! Aku lubangi kok… kok…. kok….!” Si kepiting menjawab, “Tunggu sampai dalam sekali.” Setiap Kepiting selesai berkata begitu, ayam mematuk-matuk perahu itu. Mereka kemudian mengulangi permainan itu lagi. Si Kera sama sekali tak mengerti apa sebenarnya yang dilakukan ayam dan kepiting. Sedikit demi sedikit perahu itu berlubang. Air laut mulai merembes ke dalam perahu. Lama-kelamaan perahu yang mereka tumpangi bocor. Kera mulai panik tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Perahu semakin lama semakin tenggelam. Kepiting dan ayam bersiaga meninggalkan kera. Mereka bertiga berusaha menyelamatkan diri dengan caranya masing-masing. Si kepiting menyelam ke dasar laut, sedangkan si ayam dengan mudah terbang ke darat. Si kera tampak ketakutan sendirian di atas perahu. Pada dasarnya kera paling takut pada air, apalagi air laut. Ia berusaha meronta-ronta minta tolong, tapi siapa yang dapat menolongnya karena ia sendirian di tengah lautan. Kera juga tidak bisa berenang, maka matilah si kera yang licik itu di tengah lautan yang dalam. Demikian akhir dari cerita fabel kera dan ayam. Amanat cerita dongeng kera dan ayam ini adalah perbuatan jahat akan mendapatkan balasan yang menyakitkan. Jika kita mempunyai sahabat, maka kita tidak boleh mengkhianati sahabat kita. Selain itu, sifat rakus kera telah mematikan kepandaiannya sehingga ia menemui celaka akibat perbuatannya sendiri. Semoga cerita rakyat dari Sulawesi Tenggara ini bisa memberi inspirasi bagi Anda. Sampai jumpa di artikel The Jombang Taste berikutnya. Daftar Pustaka Rahimsyah, MB. 2007. Kumpulan Cerita Rakyat Nusantara Lengkap dari 33 Provinsi. Bintang Usaha Jaya, Surabaya Artikel Terkait
Makassar - Salah satu cerita rakyat Sulawesi Tenggara yang cukup populer adalah cerita tentang asal-usul Gunung Mekongga. Cerita rakyat ini masih hidup dan dipercaya di kalangan masyarakat secara Mekongga adalah sebuah gunung tertinggi yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara. Bahkan gunung ini pun termasuk ke dalam 7 gunung tertinggi yang ada di Pulau yang terletak di Kabupaten Kotala ini kerap menjadi incaran para pendaki dari berbagai daerah. Puncak tertingginya bernama puncak Masero-sero dengan ketinggian mencapai 2,620 mdpl. Di balik kokohnya Gunung Mekongga ini, terdapat cerita rakyat yang dipercaya sebagai asal-muasal tempat tersebut. Yakni legenda tentang seekor burung elang raksasa yang bernama seperti apa cerita rakyat tentang asal-usul Gunung Mekongga yang merupakan salah satu cerita rakyat dari Sulawesi Tenggara? Berikut kisah selengkapnya dirangkum detikSulsel dari laman Perpustakaan Digital Budaya pada jaman dahulu di Negeri Sorume sekarang Kolaka, Sulawesi Tenggara hiduplah seekor burung garuda raksasa bernama Burung Kongga. Burung tersebut selalu membuat kekacauan di desa ia akan terbang dan memangsa hewan-hewan ternak milik penduduk desa. Bahkan jika ia tidak menemukan hewan, ia akan menculik seorang manusia dan penduduk merasa resah dan ketakutan dibuatnya. Semakin hari ternak-ternak milik warga perlahan semakin habis itulah penduduk Sorume pun mencari cara untuk mengatasi burung Kongga di sebuah negeri seberang bernama negeri Solumba sekarang Balandete, terdengarlah kabar bahwa ada seorang sakti mandraguna. Ia bernama adalah seorang tokoh yang datang dari tanah Luwu. Ia adalah kerabat dekat Sawerigading, yang merupakan tokoh penting nenek moyang orang dikutip dari laman resmi Kabupaten Kolaka, Sawerigading hidup sekitar abad XIV. Ia adalah cucu Batara Guru yang diutus oleh para Dewata untuk turun ke dunia dan memerintah di tanah Luwu kemudian menyebar ke beberapa wilayah, termasuk Sulawesi adalah keluarga dekat Sawerigading yang kemudian berangkat ke Tanah Alau Negeri di Timur. Tana Alau adalah sebutan orang Luwu untuk wilayah Sulawesi Tenggara karena mereka melihat matahari terbit di pagi hari ke arah di Tanah Alau, Ia pun menetap dan mendirikan kerajaan di Negeri Solumba. Di mana wilayah tersebut didiami oleh masyarakat yang menyebut dirinya 'Orang Tolaki' yang berarti orang-orang para penduduk di Sorume pun lantas mengirim utusan ke Negeri Solumba untuk menemui Larumbalangi. Serta bermaksud meminta kesediaan Larumbalangi untuk membantu mengusir burung elang Raksasa di negeri Solumba, para utusan itupun kemudian menceritakan mengenai peristiwa yang menimpa negeri mereka pada Larumbalangi. Ia pun memberikan saran pada penduduk Sorume untuk menggunakan bambu runcing untuk melawan si burung Kongga raksasa."Untuk mengatasi garuda raksasa, kalian harus menggunakan strategi yang tepat. Kumpulkanlah oleh kalian bambu tua kemudian buat ujungnya menjadi runcing. Olesi juga ujungnya dengan racun. Carilah seorang pemberani di negeri kalian untuk melawan si garuda raksasa. Pagari ia dengan bambu runcing. Jadi apabila burung Kongga menyerang, ia akan tertusuk oleh bambu beracun tersebut," kata utusan pun berterima kasih atas saran tersebut. Bergegaslah mereka pulang ke Negeri Sorume untuk melaksakan wasiat bambu runcing di Sorume, para utusan menceritakan saran Larumbalangi itu kepada para para tetua ada pun segera mengadakan sayembara guna mencari laki-laki pemberani untuk melawan burung raksasa tersebut menjanjikan bahwa siapapun yang bisa melawan si Burung Kongga Raksasa, jika ia adalah seorang rakyat jelata maka akan diangkat menjadi Bangsawan. Dan jika ia dari kalangan bangsawan, maka akan diangkat menjadi pemimpin hari Sayembara tersebut diadakan, ratusan pendekar dari berbagai wilayah untuk mengikutinya. Setiap orang menunjukkan kemampuannya di depan para tetua dan sesepuh negeri setelah melalui persaingan dan pemilihan yang ketat, terpilihlah seorang pemenang yang bernama Tasahea. Ia adalah seorang rakyat biasa namun pemberani dari negeri para sesepuh kemudian meminta penduduk untuk membuat bambu runcing yang diujungnya diolesi racun. Selanjutnya bambu-bambu runcing itu pun ditancapkan di Padang kemudian dimasukkan ke dalam lingkaran yang dikelilingi bambu beracun. Ia kemudian ditinggalkan sendirian untuk memancing si burung Garuda Raksasa berjam-jam Tasahea berdiri di dalam bambu runcing, namun burung garuda raksasa belum juga kelihatan. Hingga pada saat siang hari, tiba-tiba saja cuaca yang tadinya cerah berubah menjadi mendung dan gelap itulah Tasahea melihat burung garuda raksasa terbang mendekatinya. Dengan suaranya yang menggelegar, burung raksasa tersebut siap menyerang dan memangsa belum sempat menyentuhnya, sayap si garuda tertusuk oleh bambu runcing beracun. Burung garuda raksasa pun mengerang ingin menyia-nyiakan kesempatan, Tasahea pun segera mengambil sebilah bambu runcing beracun yang ada di sampingnya. Dan lantas melemparkannya dan mengenai bagian dada si burung garuda semakin meronta-ronta kesakitan. Ia pun memutuskan untuk terbang menjauh dari tempat itu. Di kepakkan sayapnya lagi untuk melepaskan diri dari bambu runcing beracun segera terbang tinggi namun tak berapa lama, tubuhnya pun terjatuh tepat di atas sebuah gunung. Tak lama berselang, sang Garuda akhirnya mati terkena efek racun bambu negeri Sorume bersorak-sorak mengelu-elukan Tasahea sebagai kegembiraan rakyat tidak berlangsung lama. Bangkai burung garuda raksasa ternyata menyebarkan wabah penyakit. Banyak penduduk meninggal setelah muntah-muntah karena wabah penyakit. Begitu pula tanaman penduduk banyak mati diserang hal ini para tetua adat kembali mengirim utusan untuk menemui Larumbalangi. Sesampainya di negeri Solumba, para utusan menyampaikan permasalahan wabah yang berasal dari bangkai burung garuda Kongga kepada hal ini, Larumbalangi segera berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar menurunkan hujan deras agar bangkai garuda raksasa beserta ulat-ulat terbawa mengabulkan doa Larumbalangi. Negeri Sorume dilanda hujan sangat deras selama tujuh hari tujuh malam. Akibatnya Negeri Sorume mengalami banjir hebat. Banjir hebat tersebut membawa bangkai garuda raksasa beserta ulat-ulat hanyut terbawa hujan reda & banjir surut, wabah penyakit beserta ulat yang melanda negeri Sorume akhirnya hilang. Rakyat negeri Sorume bergembira, akhirnya kedamaian bisa hadir di negeri menghargai jasa Tasahea & Larumbalangi, para tetua ada sepakat mengangkat Tasahea menjadi bangsawan. Sedangkan Larumbalangi diangkat sebagai pemimpin negeri tempat jatuhnya burung garuda raksasa tersebut pun diberi nama Gunung Mekongga. Simak Video "Dataran yang Terangkat, Kisah Puncak Khayangan Wakatobi " [GambasVideo 20detik] edr/alk
Indonesia kaya akan dongeng yang berhubungan dengan bidadari yang turun ke bumi. Namun, pernahkah kamu mendengar cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari dari Sulawesi Tenggara? Kalau belum, langsung saja simak ulasan yang telah kami siapkan di artikel berikut!Kamu mungkin sering mendengar dongeng Indonesia yang menceritakan tentang bidadari yang turun ke bumi. Namun, pernahkah kamu mendengar cerita rakyat Sulawesi Tenggara tentang Putri Satarina dan Tujuh Bidadari?Kisahnya menceritakan tentang kebaikan seorang gadis yang nasibnya selalu sial. Karena merasa kasihan, akhirnya para batari itu pun menolong gadis bernama Putri Satarina itu dan mengangkatnya menjadi bidadari penasaran dengan kisahnya, langsung saja simak ulasan seputar cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari yang telah kami siapkan di bawah ini. Selain kisahnya, kamu juga bisa mendapatkan ulasan terkait unsur intrinsik dan beberapa fakta menariknya. Selamat membaca! Sumber Wikimedia Commons Alkisah di bagian tenggara pulau Sulawesi, terdapatlah sebuah negeri yang dihuni oleh orang-orang suku Wolio. Negeri tersebut berbentuk pedukuhan atau desa yang dikenal juga dengan nama Desa Keli. Desa tersebut dilalui sebuah aliran sungai bernama Lakambolo. Setiap kali musim timur tiba, air sungai tersebut akan meluap dan menenggelamkan seisi kampung. Hal itu terpaksa membuat warga yang tinggal di Desa Keli harus mengungsi dari ancaman banjir ke daerah yang lebih aman setiap kali musim timur tiba. Di desa tersebut, tinggal seorang saudagar kaya raya bernama La Ode Pakainke Ke. Ia memiliki seorang istri yang rupawan dan cantik jelita bernama Wa Ode Sanggula. Kehidupan sang saudagar itu benar-benar dilimpahi kebahagiaan. Usaha dagang yang mereka jalankan selalu mendapatkan keuntungan dan laba yang banyak. Ditambah lagi, mereka tengah menantikan kelahiran anak pertama mereka yang telah dinanti-nanti. Pada satu senja, La Ode Pakainke Ke dan istrinya, Wa Ode Sanggula tengah duduk bercengkerama di teras depan rumahnya yang besar dan megah. “Istriku, minggu depan aku harus berangkat ke Pulau Siumpu untuk membawa bawang dagangan. Sudah satu bulan aku beristirahat di rumah, kini saatnya aku harus berdagang lagi,” ucap La Ode Pakainke Ke dengan bersedih. Wa Ode Sanggula tak menjawab ucapan suaminya itu. Ia hanya menundukkan kepala seraya tangannya sesekali mengusap perutnya yang membuncit. Terkadang, ada hela napas yang berat di antara setiap tarikan napasnya. “Janganlah engkau bersedih, istriku! Perjalananku kali ini tak akan lama. Paling lama akan memakan waktu dua minggu saja. Nantinya setelah urusanku selesai, aku berjanji akan langsung pulang,” lanjut La Ode Pakainke Ke berusaha meyakinkan sang istri. Meskipun begitu, tetap saja Wa Ode Sanggula terdiam menunduk penuh kesedihan. Ia masih saja merasa berat melepaskan kepergian suaminya. Kekhawatiran Wa Ode Sanggula “Kumohon bicaralah padaku, istriku. Jangan hanya diam saja. Apa gerangan yang membuat hatimu merasa berat? Jangan membuatku merasa cemas karena sikapmu itu!” ujar La Ode Pakainke Ke khawatir. “Maafkan aku, suamiku. Bukan maksudku membuatmu khawatir. Aku hanya bersedih memikirkan rencana keberangkatanmu minggu depan, padahal tak lama lagi aku akan melahirkan bayi kita. Aku takut kalau kau tak bisa berada di sisiku ketika melahirkan nantinya. Siapa nantinya yang akan menolongku?” ucap Wa Ode Sanggula seraya menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Mendengar hal itu, La Ode Pakainke Ke menjadi terdiam dan bimbang. Tentu saja ia tak ingin meninggalkan istrinya sendiri ketika tengah melahirkan, tapi bagaimanapun juga ia harus kembali berdagang di Pulau Siumpu. “Berapa usia kandunganmu sekarang, istriku?” tanya La Ode Pakainke Ke. “Delapan bulan dua belas hari, suamiku,” jawab sang istri. La Ode Pakainke Ke kemudian terdiam dan berpikir keras. “Kalau begitu, aku masih bisa memiliki waktu untuk berdagang seraya menunggu kelahiran bayi kita. Menurut perhitunganku, bayi kita seditaknya akan lahir tiga puluh delapan hari lagi. Nantinya sebelum kau melahirkan, aku pasti sudah kembali pulang lagi,” ucapnya kemudian. “Jadi kau akan tetap berangkat berdagang, suamiku?” “Benar, istriku. Aku sudah terlanjut berjanji pada saudagar di Biwinapa untuk membawakan barang dagangan yang sudah dia pesan. Aku harus memenuhi janji itu agar di kemudian hari perniagakanku tidak mengalami kesulitan karena kehilangan kepercayaan dari orang lain. Kuharap kau bisa memaklumiku, istriku. Lagi pula apa yang aku lakukan ini juga demi anak kita kelak!” ucap La Ode Pakainke Ke berusaha membesarkan hati istrinya. Baca juga Asal Mula Gunung Mekongga di Sulawesi Tenggara & Ulasan Menariknya, Tempat Terbunuhnya Burung Garuda Raksasa Keberangkatan La Ode Pakainke Ke Setelah terdiam beberapa saat, Wa Ode Sanggula lalu memandang suaminya dan berucap, “Baiklah, suamiku. Aku akan melepaskan kepergianmu dengan ikhlas. Aku juga akan selalu mendoakan agar kau berada dalam lindunagan Yang Maha Kuasa.” “Terima kasih, istriku. Sekarang aku lebih lega dan tak lagi merasa berat untuk berangkat minggu depan,” ucap La Ode Pakainke Ke seraya memeluk istrinya penuh cinta. Satu minggu kemudian, seperti rencananya semula, La Ode Pakainke Ke berangkat bersama awak kapalnya menumpangi kapal besar miliknya. Mereka berlayar menuju Pulau Siumpu dengan membawa barang dagangan berupa kain sutera dan kerajinan tangan hasil penduduk Desa Keli. Setelah beberapa minggu, La Ode Pakainke Ke masih saja belum pulang ke rumah. Hal itu tentu saja membuat Wa Ode Sanggula khawtir. Padahal waktu kelahirannya sudah di depan mata. Suatu hari, ketika matahari akan terbenam, Wa Ode Sanggula masih asyik duduk di serambi depan rumahnya seraya mengusap perutnya yang semakin buncit. Sesekali, pandangan matanya diarahkan ke belokan di ujung jalan bagian selatan rumah mereka. Tak lama kemudian, pengasuhnya yang benama Wa Kalambe keluar dari dalam rumah dan mendekatinya perlahan. “Ini sudah nyaris maghrib, Abe. Marilah kita masuk ke dalam rumah. Orang hamil sepertimu seharusnya tak boleh berlama-lama duduk di luar rumah. Namanya pamali,” ucap Wa Kalambe. “Tapi, aku masih menunggu kedatangan suamiku sore ini, Wa Mbe,” ucap Wa Ode Sanggula bersedih. “Aku tahu, Abe. Tapi hari kini sudah semakin gelap. Mungkin saja Nak Ode belum pulang sore ini. Sebaiknya kau masuk dahulu dan menunggu besok lagi untuk menantikan kepulangannya,” ujar Wa Kalambe kemudian. La Ode Pakainke Ke yang Tak Segera Pulang “Namun ini sudah lewat satu minggu dari waktu yang sudah dijanjikan, Wa Mbe. Dan suamiku masih belum pulang juga. Aku jadi merasa sangat cemas karena memikirkannya. Kira-kira apakah gerangan penyebab keterlambatannya?” Wa Ode Sanggula masih saja belum bergerak dari tempat duduknya. “Mungkin saja urusan Nak Ode tak bisa diselesaikan dengan cepat sehingga kepulangannya terpaksa harus ditunda. Jangan terlalu berpikiran buruk. Lebih baik kita masuk ke dalam!” ucap Wa Kalambe terus membujuk. Meskipun awalnya Wa Ode Sanggula berkeras tak ingin masuk ke dalam rumah sampai suaminya pulang, tapi pada akhirnya ia pun berdiri dari tempat duduknya. Seraya memegang pinggulnya yang pegal akibat duduk terlalu lama, ia pun berjalan masuk ke dalam rumah dengan didampingi oleh Wa Kalambe. Ketika malam semakin larut, suasana rumah pun menjadi semakin sunyi. Lampu rumah tersebut sudah dimatikan semua oleh Wa Kalambe, kecuali lampu dari kamar Wa Ode Sanggula. Hal itu menunjukkan bahwa penghuni kamar itu masih terjaga. Dan benar saja, di atas pembaringan empuk yang dilapisi kain beludru berwarna merah, Wa Ode Sanggula masih saja belum tidur. Ia hanya mengubah-ubah posisi tidur saja seperti tengah merisaukan sesuatu. Ada banyak dugaan yang berkecamuk di dalam pikirannya. “Suamiku, apa yang sebenarnya tengah terjadi padamu? Kenapa kau masih belum pulang juga hingga sekarang?” bisiknya nyaris menangis. “Tuhan, kumohon lindungilah suamiku. Berikanlah ia kekuatan agar bisa kembali dengan selamat,” ucapnya berdoa kepada Yang Maha Kuasa. Setelah menangis dan khawatir semalaman, Wa Ode Sanggula baru bisa terlelap ketika menjelang dini hari. Baca juga Dongeng La Sirimbone dari Sulawesi Tenggara dan Ulasannya, Lika Liku Kehidupan Anak yang Ditinggalkan Keluarga Pecah Ketuban Wa Ode Sanggula Ketika hari sudah menjelang siang, Wa Kalambe mengetuk pintu kamar yang membangunkan Wa Ode Sanggula dari mimpinya. “Abe Sanggula! Hari sudah siang, bangunlah!” ucap Wa Kalambe di antara ketukannya di pintu dengan nada khawatir, “Apakah Abe baik-baik saja?” “Aku tidak apa-apa, Wa Mbe. Masuklah, aku sudah bangun,” jawab Wa Ode Sanggula masih dengan nada lemas. Setelah Wa Kalambe masuk, wajahnya semakin terlihat khawatir ketika melihat Wa Ode Sanggula masih terbaring di tempat tidur. “Apakah kamu sakit, Abe?” tanya Wa Kalambe cemas seraya berjalan mendekati pembaringan. Ia pun langsung memegang kening Wa Ode Sanggula untuk mengecek kondisinya. “Aku hanya merasa sedikit pusing, Wa Mbe. Semalam aku tidak bisa tidur sama sekali. Aku masih memikirkan kepergian suamiku yang belum ada kabarnya hingga sekarang.” “Sekarang Abe tak perlu lagi merasa cemas. Tadi pagi kusir La Ponta-Ponta datang untuk memberi kabar kalau kapal Nak Ode sudah berlabuh. Sebentar lagi suamimu pasti akan pulang ke rumah.” Mendengar hal itu, Wa Ode Sanggula pun langsung terlihat sumringah dan bersemangat. Tanpa menunggu lama ia langsung bangun dari pembaringannya. Namun, karena ia terlalu tergesa-gesa, tanpa sadar kaki kirinya tersangkut ujung kain hingga ia terguling dari tempat tidur. Wa Kalambe yang tak menduga kejadian itu pun langsung panik. Kejadian itu langsung membuat air ketuban Wa Ode Sanggula pecah. Pertanda bahwa tak lama lagi ia akan melahirkan bayinya. Hal itu tentu saja membuat Wa Kalambe menjadi semakin panik. Kelahiran Putri Satarina Di waktu yang bersamaan, terdengar suara salam dari depan pintu yang menunjukkan bahwa La Ode Pakainke Ke telah pulang ke rumah. Ketika melihat kondisi istrinya yang kesakitan, pria tu langsung ikut panik dan menanyakan apa yang bisa ia bantu. Tanpa menunggu lama, Wa Kalambe menyarankan La Ode Pakainke Ke untuk bergegas keluar kamar dan menyuruh pengurus kuda untuk menjemput dukun beranak. Untungnya, dukun beranak itu bisa dipanggil dengan cepat dan Wa Ode Sanggula bisa melahirkan bayi perempuannya dengan selamat. Bayi perempuan yang berparas cantik jelita dan berkulit putih bagai salju nan elok itu pun diberi nama Putri Satarina yang berarti anak perempuan yang berwajah bagai purnama. Kehadiran sang putri tentunya membawa kebahagiaan bagi kedua orang tuanya. Apalagi usaha perniagaan La Ode Pakainke Ke menjadi sembakin lancar. Namun sayang, ketika usia sang putri baru tiga belas bulan, sang ibunda terkena penyakit yang sangat parah. Semua tabib yang telah didatangkan dari sepenjuru negeri tetap saja tak bisa menyembuhkan penyakitnya. Hari demi hari penyakitnya menjadi semakin parah hingga membuat La Ode Pakainke Ke khawatir. Wa Ode Sanggula yang menyadari bahwa tak ada seorang pun tabib yang bisa menyembuhkannya kemudian berpesan pada suaminya untuk selalu menjaga dan merawat buah hatinya dengan baik. Tak lama setelah berpesan, Wa Ode Sanggula menghembuskan napas terakhirnya. Baca juga Kisah Terbentuknya Pulau Nusa dari Kalimantan Tengah dan Ulasannya, Kecerobohan Manusia yang Berakhir Tragis La Ode Pakainke Ke Menikah Lagi Tiga tahun setelah kepergian Wa Ode Sanggula, Putri Satarina tumbuh menjadi anak yang jelita. Bahkan meskipun usianya baru empat tahun, kecantikannya sudah bisa terlihat dengan jelas. Kulitnya terlihat putih bagai salju dan matanya bersinar bagaikan bintang kejora. Bahkan, hidung dan bibirnya tampak sempurna yang semakin menambah keayuan wajahnya. Suatu hari, La Ode Pakainke Ke berpikiran untuk kembali menikah. Karena bagaimanapun juga, ia merasa tak sanggup mengurus buah hatinya sendirian. Apalagi, Wa Kalambe yang pernah menjadi inang pengasuh sang gadis telah berpulang juga ke Rahmatullah tak lama setelah kepergian Wa Ode Sanggula. Belum lagi, La Ode Pakainke Ke harus sering bepergian untuk melakukan usaha perniagaannya. Tak mungkin ia membawa Putri Satarina berlayar bersamanya atau bahkan meninggalkannya sendirian di rumah. Oleh karena itu, setelah berpikir matang-matang, akhirnya La Ode Pakainke Ke memutuskan untuk menikah seorang wanita biasa bernama Wa Muri. Dibandingkan istrinya terdahulu, Wa Muri tidaklah berparas cantik. Namun, hal itu bukanlah sebuah masalah bagi La Ode Pakainke Ke. Karena yang terpenting baginya adalah ada orang yang bisa mengurus dan merawat putrinya. Sebelum mereka resmi menikah, La Ode Pakainke Ke meminta janji Wa Muri untuk menganggap Putri Satarina seperti anak kandungnya sendiri dan memperlakukannya dengan baik. Wa Muri pun menyanggupi permintaan itu. Sehingga La Ode Pakainke Ke akhirnya tak lagi ragu untuk memilihnya. Kebaikan Palsu Wa Muri Setelah menikah, Wa Muri tinggal bersama di rumah suami dan anak tirinya. Awalnya, sesuai janjinya pada La Ode Pakainke Ke, Wa Muri memperlakukan Putri Satarina seperti anak kandungnya sendiri. Bahkan, La Ode Pakainke Ke sampai merasa beruntung dan bersyukur karena memiliki istri yang penyayang dan adil. La Ode Pakainke Ke tak lagi merasa ragu dan cemas jika harus meninggalkan putrinya untuk berdagang. Ia bisa yakin meninggalkan putrinya di bawah asuhan istri keduanya selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Ia sangat yakin putrinya akan selalu bahagia meskipun hanya ditemani ibu tiri yang menyayanginya. Namun, siapa sangka kalau rupanya kebaikan hati dan kasih sayang Wa Muri itu semua hanyalah kebohongan semata. Di balik sikap dan senyum manis yang ia perlihatkan itu, rupanya ada rencana licik yang hanya ia ketahui sendiri. Tak lama setelah pernikahan itu, Wa Muri hamil kemudian melahirkan seorang bayi perempuan yang diberi nama Katarina. Kehadiran Katarina itu semakin memunculkan sikap buruk Wa Muri, khususnya ketika La Ode Pakainke Ke tengah tidak berada di rumah. Ia sering kali membeda-bedakan kedua anaknya. Bahkan, ia mulai tak lagi mempedulikan Putri Satarina dan hanya mengurus Katarina saja. Baca juga Dongeng Ikan Mas Ajaib dan Pohon Emas Beserta Ulasannya, Pengingat Agar Selalu Tulus Melakukan Segala Hal Perubahan Perilaku Wa Muri Pada Putrinya Seiring dengan berjalannya waktu, perbedaan Putri Satarina dan Katarina semakin terlihat jelas. Tak hanya secara fisik saja, tapi perangai Katarina pun jauh lebih buruk dibandingkan Putri Satarina. Karena terlalu dimanjakan, Katarina tumbuh menjadi gadis yang egois, seenaknya sendiri, dan berkemauan keras. Ia tak pernah mau mengalah dan tak ada yang bisa menentang kemauannya. Sementara Putri Satarina tumbuh menjadi gadis yang sabar dan selalu mengalah. Kecantikan dan kebaikan hati Putri Satarina menjadikannya banyak disukai oleh orang-orang di sekelilingnya, khusunya kaum laki-laki. Dan hal itu menjadikan sang ibu tiri dan adiknya menjadi semakin membenci Putri Satarina. Bahkan, kini gadis berhati bersih itu sampai diperlakukan seperti layaknya pembantu. Setiap hari Putri Satarina diwajibkan untuk melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Kalau ada pekerjaan yang dianggap kurang beres, Wa Muri tak ragu-ragu memukul dan mencacinya. Bahkan, kalau Putri Satarina tak mendengar panggilan sang ibu tiri, Wa Muri juga akan langsung membentak dan menjewer telinga sang gadis tanpa ampun. Hal itu pada akhirnya membuat Putri Satarina sedih. Sering kali, ia hanya bisa menundukkan kepala seraya berkaca-kaca. Apalagi jika Wa Muri sampai mengucapkan kalau Putri Satarina adalah pembawa sial dan membuat ibundanya meninggal dunia. Putri Satarina sampai bertanya-tanya apakah benar ia yang membawa sial bagi keluarganya. Apakah benar ia yang menyebabkan ibundanya meninggal dunia? Karena seingatnya, dahulu inang pengasuhnya menceritakan kalau ibunya meninggal dunia karena terserang penyakit menular yang ganas dan tak ada seorang tabib pun yang bisa menyembuhkan. Sayangnya, saat itu Le Ode Pakainke Ke tengah berlayar jauh. Sehingga hal itu membuat ibu dan adik tirinya bisa melakukan perbuatan semena-mena kepada dirinya. Meskipun begitu, Putri Satarina berusaha untuk tetap berserah dan berdoa pada Yang Maha Kuasa agar selalu diberikan kekuatan. Pesta Pernikahan Putri Satarina Ketika Putri Satarina berusia 17 tahun, gadis itu bagaikan kembang desa yang selalu memancarkan kecantikan dan keharuman dari dalam dirinya. Banyak pria yang datang dan hendak meminangnya untuk dijadikan istri. Di antara para pemuda itu, hanya ada satu yang menarik perhatian sang putri, yakni pemuda dari negeri seberang. Sang pemuda berparas tampan dan memiliki tutur kata dan perangai yang mengesankan banyak orang. Pemuda bernama La Ode Badawi Garangani itu merupakan anak dari saudagar kaya teman ayahnya. Akhirnya, setelah melalui pembicaraan dari kedua belah pihal, Putri Satarina pun menikah dengan La Ode Badawi Garangani. Pesta pernikahan itu diadakan dengan sangat meriah. Putri Satarina bagaikan Putri Bulan yang dipersunting oleh Pangeran Matahari. Semua orang yang menyaksikan pernikahan itu turut berbahagia dan terharu, kecuali Wa Muri dan Katarina. Mereka berdua justru merasa iri dengan kebahagiaan yang dirasakan oleh Putri Satarina. Berbagai rencana buruk langsung muncul di kepala sang ibu tiri. Ia bertekad untuk menyingkirkan sang putri entah bagaimana caranya. Karena ia menganggap kalau Putri Satarina adalah penghalang kebahagiaan putri kandungnya. Tak berapa lama setelah pesta pernikahan itu berakhir, Putri Satarina mengandung dan sembilan bulan kemudian ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan. Bayi yang mirip dengan ayahnya itu kemudian diberi nama La Ode Pasanifu, di mana Pasanifu memiliki arti pemersatu. Harapannya, buah hati mereka bisa menyatukan hati kedua orang tuanya dan orang-orang di sekitar mereka. Baca juga Kisah tentang Si Kelingking Asal Jambi dan Ulasan Lengkapnya, Pelajaran untuk Tidak Meremehkan Penampilan Fisik Seseorang Kepergian Putri Satarina Pada suatu hari, La Ode Badawi Garangani harus pergi ke kampung seberang karena mendapat kabar bahwa ayah kandungnya menderita sakit. Karena saat itu La Ode Pasanifu masih terlalu kecil, Putri Satarina tak bisa ikut suaminya dan harus tinggal di rumah untuk mengurus buah hatinya. Ketika La Ode Badawi Garangani berangkat, Wa Muri dan Katarina merasa itu adalah kesempatan yang sempurna untuk melenyapkan Putri Satarina dan menggantikan posisinya. Tanpa menunggu lama Katarina berpura-pura menawarkan diri untuk menjaga La Ode Pasanifu, sementara Wa Muri mengajak Putri Satarina ke sungai. Alasannya mengajak mandi untuk membuang nasib sial setelah tujuh hari kelahiran bayinya. Meskipun awalnya sang putri merasa ragu, tapi karena Wa Muri terus mendesaknya, ia pun terpaksa mengikuti perkataan ibu tirinya itu. Namun, belum sampai ke sungai, mendadak hujan turun dengan derasnya. Hal itu tentunya membuat Putri Satarina semakin merasa ragu, tapi Wa Muri terus memaksanya untuk mempercepat langkahnya. Ketika mereka sampai di tepi sungai, hujan turun semakin deras. Tapi tetap saja Wa Muri memaksa agar Putri Satarina masuk ke dalam air. Tak lama ketika sang putri baru berendam, mendadak banjir besar datang. Meskipun sang putri sudah berusaha berenang secepat mungkin untuk naik ke darat. Namun, dengan sigap sang ibu tiri kembali mendorongnya masuk ke dalm sungai. Naas, sang putri pada akhirnya terbawa arus sungai yang deras. Setelah yakin kalau Putri Satarina tak akan selamat, Wa Muri yang kejam bergegas pulang ke rumah dan menerobos hujan. Sampai di rumah, ia menyuruh Katarina menutup semua jendela kamar sehingga suasana di dalam kamar menjadi gelap gulita. Wa Muri pun menyuruh putri kandungnya untuk menyamar sebagai Putri Satarina dan tak diperbolehkan membuka jendela atau keluar kamar. Bahkan, mereka sampai membohongi La Ode Badawi Garangani dengan berkata bahwa istrinya terkena penyakit mata sehingga tak boleh keluar kamar atau melihat matahari. Tujuh Bidadari Penyelamat Sementara itu, Putri Satarina yang hanyut terbawa banjir rupanya terdampar di pinggir Sungai Lakambolo di daerah Si Keli. Tak jauh dari tempat itu, terdapat sebuah lubuk berair jernih yang sering digunakan pada bidadari untuk mandi dan bercengkerama bersama. Begitu pula saat itu, seperti biasanya para bidadari mandi, bermain, dan bercanda di dalam air. Mendadak, salah satu bidadari yang mengenakan pakaian berwarna merah muda menemukan sesosok tubuh tergeletak tak jauh dari pohon di tepi sungai. Ia pun langsung memanggil keenam temannya. Melihat kecantikan Putri Satarina, mereka pun merasa kasihan dan memutuskan untuk membawa gadis itu ke kahyangan agar bisa dihidupkan kembali. Namun, rupanya ketika Bunda Ratu, ibunda dari para bidadari mengetahui hal itu, beliau langsung marah. Karena keberadaan seorang manusia bisa mengotori negeri kahyangan, apalagi kalau ternyata mereka tak bisa menyelamatkan nyawa Putri Satarina. Seandainya mereka berhasil menyelamatkan sang putri sekalipun, pada akhirnya Putri Satarina tak akan bisa kemali ke bumi dan harus menjadi penghuni kahyangan selamanya. Namun, para bidadari itu merasa kasihan karena mereka yakin manusia yang diselamatkan itu adalah orang yang baik dan suci dari segala perbuatan buruk. Melihat ketulusan para bidadari yang ingin menyelamatkan manusia itu, Bunda Ratu pun meminta mereka untuk mengumpulkan kembang tujuh rupa, selendang tujung warna, dan air suci yang diisikan ke dalam tujuh kendi kahyangan. Semua benda itu harus disiapkan sebelum matahari terbit. Baca juga Legenda Asal Usul Danau Malawen dan Ulasannya, Sebuah Imbauan untuk Mendengarkan Nasihat Kedua Orang Tua Putri Satarina Menjadi Bidadari Tanpa menunggu lama, para bidadari itu menyiapkan semua perlengkapan yang dibutuhkan. Dengan dipimpin Bunda Ratu, mereka pun menutupi tubuh Putri Satarina dengan selendang tujuh warna, dengan selendang yang berwarna putih diletakkan paling atas. Sesudahnya, kembang tujuh rupa ditaburkan di atas tubuh sang putri dari ujung kepala sampai ke kaki. Kemudian Bunda Ratu mengambil tujuh kendi kecil berisi air suci dan memercikkannya di atas tubuh sang putri satu persatu. Tak lupa Bunda Ratu juga terus membacakan mantra, dan mengayunkan tongkatnya di atas Putri Satarina yang kemudian mengeluarkan sinar kuning. Ajaibnya, setelah sinar kuning tersebut masuk ke dalam kepala sang putri yang masih tertutup selendang. Setelah cahaya itu menghilang, Seluruh kain dan kembang tujuh rupa yang menutupi tubuh Putri Satarina pun raib juga. Tak lama kemudian, sang putri terbatuk dan membuka matanya secara perlahan. Betapa bingungnya Putri Satarina yang terbangun dan kelilingi para bidadari dan Bunda Ratu yang cantik jelita. Setelah memperkenalkan diri dan menceritakan tentang hidupnya, Putri Satarina diizinkan untuk tinggal di kahyangan hingga tubuhnya kembali sembuh. Sayangnya, setelah tubuhnya sembuh sekalipun, ia tetap tak bisa kembali lagi ke bumi. Apalagi, tak lama kemudian Putri Satarina memiliki sepasang sayap seperti halnya bidadari lainnya. Sehingga sejak saat itu, para bidadari mulai sering mengajak Putri Satarina untuk bermain di balik awan hingga malam tiba. Mimpi Tangisan Bayi Pada suatu malam, setelah kembali dari balik awan, Putri Satarina langsung masuk ke dalam biliknya dan berbaring tanpa sempat berganti pakaian. Entah kenapa saat itu ia merasa sangat lelah hingga langsung terlelap begitu saja. Di dalam tidurnya, ia mendengar suara tangis bayi yang tak berhenti-henti. Bahkan, rasanya seolah tangisan itu menjadi semakin nyaring dan memanggil dirinya. Ketika terbangun, Putri Satarina mendapati dirinya berada di sebuah taman yang indah dan penuh bunga tapi terasa asing. Saat tengah menikmati keindahan bunga warna-warni yang ada di sekitarnya, mendadak ia kembali mendengar suara tangisan bayi yang nyaring. Namun, ia tak bisa mencari sumber suara tangisan itu, karena ia merasa seolah suara itu seakan berasal dari seluruh penjuru. Setelah menghentikan langkah kakinya dan berusaha untuk fokus, ia baru menyadari kalau suara itu berasal dari tempat yang sangat jauh. Putri Satarina pun langsung bertanya-tanya kenapa suaranya terdengar begitu dekat. Ia pun kemudian berusaha mengikuti suara hatinya dan melangkah mendekati sumber suara itu. Namun, belum sampai ia mendekati suara itu, Putri Satarina merasakan ada yang memanggil-manggil namanya seraya menepuk pipinya. Ia pun kemudian membuka matanya dan mendapati tujuh orang bidadari telah berada di sampingnya. Ketika ditanya apa yang terjadi padanya, Putri Satarina justru menangis dan berusaha mencari bayi yang tengah menangis. Mendengar jawaban tersebut, tujuh bidadari hanya bisa saling memandang dan menenangkan sang putri karena di kahyangan tidak ada bayi satu pun. Akhirnya, Putri Satarina berhasil menenangkan diri dan berusaha kembali tidur. Baca juga Kisah Abu Nawas tentang Pesan Bagi Para Hakim dan Ulasan Menariknya, Pelajaran untuk Selalu Profesional dalam Bekerja Pulang ke Bumi Namun, sejak peristiwa mimpi tangisan bayi itu, Putri Satarina tak lagi terlihat ceria seperti sebelumnya. Ia bahkan lebih sering merenung sendirian jauh dari para bidadari yang lain. Karena merasa khawatir, para bidadari pun menanyakan apa yang membuat sang putri termenung dan bersedih. Putri Satarina kemudian meminta para bidadari untuk menolongnya kembali ke bumi. Ia menyatakan bahwa belakangan ini ia merasa rindu pada bumi dan ingin kembali meskipun hanya sesaat. Ia juga berjanji bahwa sesudahnya ia akan kembali lagi ke kahyangan. Berkat janji itu, para bidadari pun bersedia membantunya ketika malam bulan purnama tiba. Dan benar saja, beberapa malam kemudian ketika langit malam dihiasi bulan purnama, mereka turun ke bumi dan mandi di Sungai Lakambolo. Di sana, mereka mandi, bermain, dan bercanda riang bersama. Setelah selesai mandi, Putri Satarina meminta izin untuk menjenguk dan menyusui anaknya sebentar. Para bidadari yang tidak mengetahui kalau sang putri memiliki seorang anak pun terkejut. Putri Satarina pun akhirnya menceritakan tentang buah hatinya yang terpaksa harus ia tinggalkan karena pergi ke kahyangan. Karena merasa iba, pada bidadari pun mengizinkan Putri Satarina untuk menjenguk suami dan anaknya. Namun, mereka juga mengingatkan sang putri bahwa ia kini telah menjadi penghuni abadi kahyangan. Oleh karena itu, ia tak bisa berlama-lama berada di bumi dan harus kembali ke kahyangan sebelum matahari terbit. Putri Satarina pun berjanji. Bertemu dan Menyusui Buah Hati Tercinta Namun, siapa sangka ketika akhirnya kembali bertemu dengan buah hatinya, Putri Satarina terlupa akan janjinya pada para bidadari. Ia terlalu asyik menggendong dan menciumi buah hatinya dengan penuh kerinduan. Ia juga menyusui anaknya dan terus mendekapnya seolah tak ingin berpisah lagi. Para bidadari yang menanti di tepi sungai menjelang dini hari pun mulai merasa gelisah. Mereka akhirnya setuju untuk menjemput sang putri agar bisa segera kembali ke kahyangan. Sesampainya mereka di rumah Putri Satarina, sang putri masih saja menyusui buah hatinya. Karena mereka tak berani masuk ke dalam rumah, para bidadari itu pun menyanyi untuk memanggil Putri Satarina. Ketika mendengar nyanyian itu, sang putri tersadar bahwa waktunya sudah nyaris habis. Untungnya mereka masih tepat waktu untuk kembali ke kahyangan sebelum matahari terbit. Para bidadari pun menjanjikan pada sang putri bahwa pada bulan purnama selanjutnya, mereka akan kembali turun ke bumi untuk mandi. Dengan begitu, setelah mandi Putri Satarina bisa kembali menyusui buah hatinya. Betapa bahagianya sang putri ketika mendengar hal itu. Ia pun akhirnya setuju dan tak sabar menanti kedatangan bulan purnama selanjutnya. Di sisi lain, siapa sangka rupanya nyanyian para bidadari itu didengarkan oleh sepasang suami istri tetangga La Ode Badawi Garangani. Ketika matahari sudah tinggi, mereka pun menemui tetangganya itu dan menceritakan tentang suara nyanyian yang mereka dengarkan semalam. Mendengar cerita itu, La Ode Badawi Garangani mulai berniat menyelidikinya. Kembali Berkumpul Bersama Keluarga Pada bulan purnama berikutnya, seperti biasa para bidadari dan Putri Satarina turun ke bumi dan mandi Sungai Lakambolo. Dan seperti sebelumnya, setelah mandi Puri Satarina kembali pulang ke rumahnya untuk menyusui buah hatinya. Sama seperti sebelumnya, para bidadari pun harus bernyanyi untuk mengingatkan sang putri untuk kembali ke kahyangan. Saat itu, La Ode Badawi Garangani yang tengah bersembunyi pun langsung keluar dari persembunyiannya dan memeluk istri yang ia rindukan. Bahkan, ia langsung memeluk istrinya itu dan mematangkan sayap di punggungnya. Betapa terkejutnya Putri Satarina mendapatkan pelukan itu. Meskipun begitu, ia langsung balik memeluk dan menangis di bahu suaminya saling melepas rindu. La Ode Badawi Garangani meminta istrinya untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi selama ini. Dan sesuai permintaan, ia pun menceritakan segalanya, termasuk tentang hidupnya selama di kahyangan. Di tengah cerita itu, para bidadari kembali memanggil Putri Satarina dan memintanya kembali ke kahyangan. Sang putri pun kemudian memohon izin untuk bisa kembali ke kahyangan menyusul tujuh bidadari. Namun, karena sayapnya sudah tak ada, ia tak bisa kembali terbang. Putri Satarina pun menjadi bingung mengapa ia tak bisa terbang kembali di kahyangan. Suaminya kemudian menenangkannya dan memintanya untuk tetap tinggal di rumah. Bahkan, ia sampai menyeret Katarina dan Wa Muri keluar, memasukkan mereka ke lubang kayu dan menggulingkan kayu itu ke jurang sangat dalam. Tak ada seorang pun yang bisa menolong mereka dan berakhirlah hidup ibu dan anak itu. Sementara itu, Putri Satarina akhirnya bisa kembali berkumpul dengan suami dan anaknya dengan penuh kasih sayang. Hingga akhir hidupnya, keluarga itu tak pernah lagi merasakan kesusahan atau penderitaan. Konon, anak cucu dari sang putri berkembang semakin banyak dan menjadi penduduk asli Pulau Buton. Baca juga Cerita Rakyat Ular Kepala Tujuh dari Bengkulu & Ulasan Menariknya, Bukti Kerendahan Hati dan Keberanian Bisa Mengalahkan Kekejian Unsur Intrinsik Cerita Rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari Sumber Putri Satarina dan Tujuh Bidadari – Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Jakarta Setelah membaca cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari yang berasal dari Buton Utara, Sulawesi Tenggara di atas, kini kamu bisa mengetahui sedikit ulasan seputar unsur intrinsiknya. Di antaranya adalah 1. Tema Inti kisah atau tema dari cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari ini adalah tentang ketulusan dan kebaikan hati akan memberikan kebaikan dalam hidupmu. Contohnya adalah seperti yang dilakukan oleh Putri Satarina. Karena kebaikan hatinya, akhirnya ia pun mendapatkan bantuan dari para bidadari untuk kembali dihidupkan. 2. Tokoh dan Perwatakan Ada beberapa tokoh utama dalam cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari ini. Di antaranya adalah La Ode Pakainke Ke, Wa Ode Sanggula, Wa Kalambe, Putri Satarina, Wa Muri, Katarina, La Ode Badawi Garangani, Tujuh Bidadari, dan Bunda Ratu. La Ode Pakainke Ke merupakan seorang ayah dan suami yang bertanggung jawab dan pekerja keras. Ia akan melakukan apa pun dan pergi jauh demi kemakmuran keluarganya. Ia juga sangat menyayangi keluarganya dan rela melakukan apa pun demi istri tercinta dan buah hatinya. Sementara Wa Ode Sanggula adalah wanita rupawan yang baik hatinya dan sangat menyayangi keluarganya. Karena begitu menyayangi suaminya, ia bahkan sampai rela menunggu kepulangan sang suami dari berlayar hingga langit gelap. Wa Kalambe merupakan inang pengasuh La Ode Pakainke Ke dan Wa Ode Sanggula yang tulus menjaga majikannya. Ia juga begitu menyayangi putri kedua majikannya itu dan turut serta mendidik bahkan setelah kematian Wa Ode Sanggula. Sayang, umurnya sendiri juga tak lama. Putri Satarina adalah gadis cantik yang memiliki sifat tulus, baik hati, sabar, dan selalu mengalah pada adiknya. Bahkan setelah mengetahui kalau ia dimanfaatkan oleh adik dan ibu tirinya sekalipun, tetap saja fokus utamanya adalah putranya sendiri, bukan balas dendam. Wa Muri adalah ibu tiri Putri Satarina yang memiliki sifat culas dan licik. Ia sering berpura-pura baik pada semua orang kecuali anak tirinya sendiri. Bahkan, ia sampai berpikiran untuk membunuh anak tirinya agar anak kandungnya bisa menjadi istri La Ode Badawi Garangani. Katarina merupakan putri dari Wa Muri dan La Ode Pakainke Ke yang memiliki sifat dan paras buruk. Karena terlalu dimanjakan, ia menjadi gadis yang iri, egois, seenaknya sendiri, dan berkemauan keras. Bahkan, ia tak ragu memanfaatkan kakaknya sendiri. La Ode Badawi Garangani adalah suami yang bertanggung jawab dan sangat menyayangi istri juga anaknya. Ia juga langsung bergerak cepat ketika mendapat kabar dari tetangganya tentang istrinya. Demi istrinya itu, ia rela melakukan apa pun, termasuk menyingkirkan ibu mertua dan adik iparnya yang licik sekalipun. Tujuh Bidadari dan Bunda Ratu adalah makhluk kahyangan yang baik hatinya. Mereka menolong dan menyelamatkan Putri Satarina dari akhir hidupnya kemudian mengangkatnya menjadi salah satu bidadari di kahyangan. 3. Latar Latar lokasi yang banyak disebutkan dalam cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari ini adalah sebuah desa di Sulawesi Tenggara yang banyak dihuni orang suku Wolio, Sungai Lakambolo tempat Putri Satarina dihanyutkan oleh ibu tirinya, dan kahyangan tempat tinggal para bidadari bersama Bunda Ratu. 4. Alur Alur yang digunakan dalam cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari ini adalah maju atau progresif. Kisahnya diceritakan secara runut dan berkesinambungan satu sama lain. Dimulai dari La Ode Pakainke Ke dan Wa Ode Sanggula yang tengah menanti kelahiran putrinya, Putri Satarina. Sayang, tak lama setelah melahirkan sang putri, Wa Ode Sanggula harus berpulang ke Yang Maha Esa karena penyakit. Karena merasa kasihan pada anaknya yang tak memiliki pengasuh, La Ode Pakainke Ke pun memutuskan untuk menikah dengan Wa Muri. Sayang, Wa Muri justru tak menyayangi Putri Satarina dengan baik. Bahkan, setelah memiliki putri sendiri yang bernama Katarina, Wa Muri justru tak mempedulikan anak tirinya itu lagi. Apalagi setelah Putri Satarina akhirnya menikah dengan La Ode Badawi Garangani yang rupawan, sifat iri hati Wa Muri membuatnya memutuskan untuk mengakali putri tirinya itu. Putri Satarina pun hanyut di sungai Lakambolo akibat keculasan Wa Muri. Untungnya, sang putri ditemukan dan diselamatkan oleh tujuh Bidadari yang baik hati. Namun, Putri Satarina kini harus menjadi bidadari juga dan tak bisa kembali ke bumi. Kerinduannya pada buah hatinya, La Ode Pasanifu, membuat Putri Satarina meminta diizinkan kembali ke bumi agar bisa menyusui putranya. Setelah beberapa kali menyusui putranya, Putri Satarina akhirnya kembali bertemu dengan suaminya dan tak perlu kembali lagi ke kahyangan. 5. Pesan Moral Pesan moral yang bisa didapatkan dari cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari yang satu ini adalah untuk selalu melakukan kebaikan bahkan meskipun orang lain berbuat jahat padamu sekalipun. Yakinlah kalau alam semesta pasti akan membalas kebaikan yang kamu lakukan dengan tulus itu. Seperti halnya Putri Satarina yang terus bersabar meskipun dijahati oleh ibu tiri dan adiknya sekalipun. Sehingga ketika akhirnya ia dihanyutkan ke sungai dan meninggal dunia, para bidadari pun berusaha untuk menolongnya. Selain unsur intrinsik, cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari ini juga mengandung unsur ekstrinsik yang bisa melengkapi kisahnya. Di antaranya adalah nilai-nilai sosial, budaya, agama, dan moral yang berlaku di daerah Sulawesi Tenggara. Baca juga Dongeng Burung Tempua dan Burung Puyuh Beserta Ulasannya, Pengingat Bahwa Tiap Orang Punya Selera Berbeda Fakta Menarik tentang Cerita Rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari Sumber Wikimedia Commons Ingin tahu apa lagi yang bisa kamu dapatkan dari artikel cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari yang satu ini? Di sini kamu juga bisa mendapatkan beberapa fakta menarik seputar kisahnya, yaitu 1. Kebudayaan Suku Wolio Cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari ini berpusat pada sebuah wilayah di Sulawesi Tenggara yang banyak dihuni oleh Suku Wolio, bertetangga dengan Suku Tolaki. Wilayah tersebut termasuk Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Kolaka, Bau-Bau, Pulau Buton, Muna, dan Kabaena. Oleh karena itu, tak ada salahnya jika kamu mengetahui sedikit seputar suku tersebut dan seperti apa penerapannya dalam kisah ini. Salah satunya adalah tentang pernikahan Suku Wolio yang memiliki aturan bahwa pengantin pria harus ikut tinggal di rumah pengantin perempuan. Bisa dilihat di dalam cerita bahwa La Ode Badawi Garangani pun setelah menikah akhirnya tinggal bersama keluarga istrinya. Kemudian juga terkait kewajiban pria dalam mencari nafkah, sementara perempuan hanya bertugas mengurus seluruh keperluan rumah tangga. Sama seperti La Ode Badawi Garangani dan La Ode Pakainke Ke yang rajin bekerja dan membiarkan istri mereka tinggal di rumah. Baca juga Legenda Oheo dari Sulawesi Tenggara dan Beserta Ulasannya, Kisah Pemuda yang Mencuri Selendang Bidadari Khayangan Cerita Rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari Demikianlah ulasan cerita rakyat Putri Satarina dan Tujuh Bidadari dari Sulawesi Tenggara yang telah kami rangkum. Dapatkah kamu mengambil pesan positif dari kisahnya? Semoga saja kamu bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari kemudian mengajarkannya pada buah hati tersayang, ya. Kalau masih ingin mencari cerita rakyat lainnya yang tak kalah menariknya, cek saja artikel-artikel lain di PosKata. Di sini kamu bisa mendapatkan Dongeng Kancil dan Kura-Kura, Cerita Rakyat Bawi Kuwu dari Kalimantan Tengah, atau Kisah Datuk Darah Putih dari Jambi. PenulisRizki AdindaRizki Adinda, adalah seorang penulis yang lebih banyak menulis kisah fiksi daripada non fiksi. Seorang lulusan Universitas Diponegoro yang banyak menghabiskan waktunya untuk membaca, menonton film, ngebucin Draco Malfoy, atau mendengarkan Mamamoo. Sebelumnya, perempuan yang mengklaim dirinya sebagai seorang Slytherin garis keras ini pernah bekerja sebagai seorang guru Bahasa Inggris untuk anak berusia dua sampai tujuh tahun dan sangat mencintai dunia anak-anak hingga sekarang. EditorElsa DewintaElsa Dewinta adalah seorang editor di Praktis Media. Wanita yang memiliki passion di dunia content writing ini merupakan lulusan Universitas Sebelas Maret jurusan Public Relations. Baginya, menulis bukanlah bakat, seseorang bisa menjadi penulis hebat karena terbiasa dan mau belajar.
cerita rakyat dari sulawesi tenggara